Sabtu, 19 April 2014

[Essay] Hidup Rukun di Antara Perbedaan Agama



Hidup Rukun di Antara Perbedaan Agama
Oleh    : Natijatul Habibah

Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki pulau sebanyak 17.508. Pulau-pulau ini terdiri atas 5 pulau besar dan ribuan pulau kecil. Dengan adanya bentuk kepulauan tersebut populasi penduduk di Indonesia sebanyak 250 juta jiwa.
Semboyan dari bangsa Indonesia sendiri yakni, “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Perbedaan disini meliputi ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan. Setidaknya bangsa Indonesia memiliki 1.128 suku bangsa, 6 agama yang diakui oleh bangsa, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu (Konfusius). Banyak etnis yang juga ada di Indonesia, seperti Melayu, China, Arab dan lain sebagainya. Perbedaan inilah yang disebut dengan keragaman, yaitu kekayaan bangsa yang penuh dengan nuansa dan variasi. Perbedaan akan semakin banyak apabila dilihat dari sisi yang lebih luas, misalnya saja dalam hal golongan, partai politik dan organisasi. Sehingga di Indonesia yang terdapat berbagai etnis dan suku, agama, pengikut partai politik dan kelompok organisasi keagamaan. Maka sesungguhnya keragaman bangsa ini bagaikan mozaik sebuah lukisan yang harus diterima oleh semua orang.
Dalam keragaman inilah diperlukan toleransi bagi semua bangsa Indonesia sendiri. Toleransi adalah sikap atau kesediaan hati untuk menerima perbedaan dalam bentuk tidak menjadikan alasan untuk bersikap bermusuhan terhadap orang atau kelompok orang yang berbeda. Lawan dari toleransi yakni, ekstrimitas yang artinya tindakan berlebih-lebihan dalam melakukan sesuatu dan cenderung tidak mau menerima perbedaan. Akhir-akhir ini yang sedang terjadi di Indonesia adalah ekstrimitas yang dilakukan oleh beberapa kelompok terhadap suatu agama. Hal-hal seperti itu akan memunculkan konflik antara umat-umat beragama.
Konflik Maluku, Poso, ditambah sejumlah kasus terpisah di berbagai tempat di mana kaum Muslim terlibat konflik secara langsung dengan umat Kristen adalah sejumlah contoh konflik yang sedikit-banyak dipicu oleh perbedaan konsep di antara kedua agama ini. Perang salib (1096-1271) antara umat Kristen Eropa dan Islam, pembantaian umat Islam di Granada oleh Ratu Isabella ketika mengusir Dinasti Islam di Spanyol adalah konflik antara Islam dan Kristen terbesar sepanjang sejarah.
Sejumlah kerusuhan dan konflik sosial yang muncul di indonesia beberapa tahun belakangan di berbagai daerah. Beberapa di antaranya berskala besar dan berlangsung lama, seperti kerusuhan di Ambon (mulai tahun 1998), Poso (mulai tahun 1998), Maluku Utara (pada tahun 2000) dan di berbagai daerah lainnya. Dari kajian-kajian yang telah dilakukan mengatakan konflik yang ada di Maluku pada awalnya disebabkan oleh kesenjangan sosial dan kepentingan politik. Eskalasi politik meningkat cepat karena mereka yang bertikai melibatkan sentimen keagamaan untuk memperoleh dukungan yang cepat dan luas. Agama dalam kaitan ini bukan pemicu konflik, tetapi karena isu agama yang muncul belakangan.
Konflik-konflik agama yang muncul di Indonesia selain disebabkan oleh kelompok yang tidak mau menerima perbedaan juga disebabkan oleh masalah sepele yang menjalar kepada permasalahan SARA. Masalah tersebut dapat membuat pertikaian antar suku, agama, dan kebudayaan.
Fakta yang terjadi saat ini adalah ketika kelompok agama itu menganggap bahwa agamanyalah yang paling benar, agamanyalah yang paling nomor satu dan menganggap agama yang lain salah. Sehingga kekerasan, perpecahan, pertikaian, pelecehan terhadap agama lain bahkan juga pembunuhan terjadi dimana-mana.
Salah satu penyebab terjadinya perpecahan antar agama adalah hadirnya seperangkat ritual dan sistem kepercayaan yang berbeda dari yang lainnya, lama-kelamaan akan melahirkan komunitas yang baru dan berbeda dari pemeluk agama lain. Rasa perbedaan tadi semakin intensif apabila para pemeluk agama telah menganggap agamanyalah yang paling benar dan agama lainnya adalah agama yang salah dan perlu untuk dimusuhi.
Kasus yang sering muncul dalam konflik tersebut adalah pendirian rumah ibadat. Pendirian rumah ibadat yang lokasinya berada di tengah-tengah komunitas yang kebanyakan menganut agama lain ini dapat memicu adanya konflik. Permasalahan bisa menjadi rumit apabila jumlah rumah ibadat tersebut dipandang oleh pihak lain tidak untuk keperluan agama, melainkan untuk menyiarkan agamanya pada komunitas lain.
Fakta inilah yang sering terjadi di masyarakat, komunitas yang mendirikan rumah peribadatan di tengah suatu komunitas yang memiliki mayoritas perbedaan agama tidaklah untuk keperluan agama mereka tetapi untuk menyiarkan agamanya pada komunitas lain agar komunitas yang berbeda agama bisa ikut agama tersebut dan menyebarluaskannya. Seharusnya hal itu tidak diperbolehkan karena termasuk dalam pemaksaan yang sifatnya terselubung maupun terang-terangan.
Hal lain yang biasa digunakan untuk menjadikan dua agama yang saling bertikai adalah adanya anggapan bahwa mempertahankan hak dengan cara memaksa dan menyerang orang yang mereka anggap menyimpang, bahkan membunuh orang yang melakukan penyimpangan itu disebut kewajiban. Apabila ada agama ketiga diluar agama yang bertikai menyaksikan pertikaian itu, maka agama tersebut akan tersenyum mengejek karena kedua agama yang saling bertikai itu saling menghancurkan.
Walaupun benar bahwa adanya konflik-konflik yang marak seperti yang ada saat ini disebabkan karena perbedaan konsepsi agama, seperti yang ada pada konflik antara Katholik dan Protestan di Eropa (khususnya di Irlandia Utara) dan antara Sunni dan Syi’ah di dunia Islam (misalnya Irak), atau perang Salib antara kaum Muslim dengan bangsa Eropa (1096-1271). Pada konflik Ambon yang ada di Indonesia juga disinyalir disebabkan karena perbedaan konsep agama, walaupun faktor-faktor yang lainnya juga disebabkan oleh kondisi sosial, ekonomi dan sebagainya juga turut berperan. Dari tahun ke tahun ribuan bahkan ratusan ribu jiwa melayang dalam pertikaian panjang dan melelahkan itu.
Terhadap konflik-konflik yang terjadi antara umat beragama telah menimbulkan dua kutub pemikiran yang berbeda. Pertama, sikap “anti agama” yaitu berupa pengingkaran peran agama dalam kehidpan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Agama dianggap sumber konflik, tidak mempunyai peranan penting, salah satu penyebab terjadinya pembunuhan dan kematian antara umat manusia, sehingga harus disingkirkan dan dilenyapkan. Meskipun demikian “melenyapkan” peran agama dalam kehidupan manusia masihlah dianggap absurd, dan tidak sesuai dengan realitas.
Gagasan kedua adalah kelompok yang “menyamakan” semua agama. Gagasan ini muncul karena anggapan perbedaan konsepsi agama merupakan konflik umat manusia. Upaya penyamaan ini biasanya dikamuflasekan dengan paham pluralisme agama. Sebab, agama-agama yang ada mempunyai sumber yang sama, yaitu Yang Mutlak (Tuhan). Jika terjadi perbedaan bentuk, ini disebabkan oleh manifestasi dalam menanggapi Yang Mutlak tersebut. Sehingga, walaupun pada aspek eksoterisnya berbeda, namun pada level esoteri, kondisi internal tetaplah sama. Maka, dengan paham ini tidak benar dan tidak diperbolehkan untuk masing-masing agama yang menyebut agamanya memiliki kebenaran secara mutlak (truth claim). Gagasan pluralisme yang cenderung menyamakan agama jelaslah sesuatu yang absurd dan tidak sesuai dengan realitas bahwa konsepsi masing-masing agama memang berbeda. Tidak hanya pada level eksoteris saja, bahkan pada level esoteris juga. Jika dikaji lebih dalam akan menimbulkan pertanyaan. Apakah benar semua agama akan sama pada level ini? Jawabannya tentu saja tidak. Ini adalah sesuatu yang mustahil untuk “mempersatukan” agama-agama, sementara konsep masing-masing agama tentang “Tuhan” berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa menyamakan semua agama adalah suatu gagasan yang jelas-jelas mengingkari kenyataan yang ada bahwa masing-masing agama memang berbeda. Tuhan di dalam Islam tidaklah sama dengan Tuhan di agama Kristen dan di agama yang lainnya. Tuhan di dalam Islam adalah Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, serta Maha Kuasa. Dia tidak beranak dan juga tidak diperanakkan, dan tidak ada satupun makhluk yang dapat menyerupai-Nya. Allah tidak terjangkau panca indera dan akal manusia yang terbatas kemampuannya. Dia, Allah jelas tidak sama dengan pemahaman umat kristen tentang Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam agama Kristen, Tuhan Yang Maha Esa itu terdiri dari tiga oknum, yakni Tuhan Bapak, Tuhan Anak (Isa) dan Tuhan Kudus yang dikenal dengan sebutan Trinitas, suatu ajaran “diperkenalakan” pertama kali oleh Paulus. Dia pulalah yang menghapuskan sekaligus menciptakan syariat-syariat baru yang diajarkan Musa sebagai Nabi yang paling dihormati dan diagungkan oleh kaum Bani Israil.
Konflik antara umat beragama dalam berbagai kasus, tidaklah disebabkan oleh perbedaan konsepsi diantara agama-agama. Itu lebih merupakan asumsi yang tendensius, yang disengaja atau tidak, berupaya “megaburkan” peran agama dalam membentuk peradaban baru yang posesif. Dia lebih menonjolkan “wajah muram” agama-agama di tengah umatnya, sehingga agama tidak ubahnya seperti tembok yang memisahkan manusia dengan manusia dari kepercayaan yang berbeda, sekaligus menumbuhsuburkan sikap kebencian dan permusuha antara pemeluk agama.
Maka, sebagai bangsa Indonesia yang kaya akan keberagaman kita tidak seharusnya bertikai antara agama yang satu dengan yang lainnya. Kita harus bersikap toleransi dalam kehidupan di masyarakat khususnya dalam beragama. Toleransi dalam beragama bukanlah mencampur adukkan ajaran dua agama, tetapi toleransi di sini adalah memperdalam keagamaan, dan spiritual dengan berbagi pengalaman spiritual dengan penganut agama lain. Yang demikian itu dapat memperkaya pengalaman dalam rangka membangun dan memperkokoh agamanya sendiri. Jangan menutup diri untuk mempelajari agama lain, karena ketakutan adalah buah dari keraguan, dan keraguan akan menimbulkan kegoyahan dalam kehidupan, kegoyahan akan mendekati kemurtadan.

3 komentar:

  1. maaf sebelumnya, saya mau bertanya, Mengapa mereka merasa terusik saat ada golongan yg berbeda dengan mereka, padahal golongan itu sama sekali tidak mengganggu mereka. Ya, mungkin mereka takut jika golongan mereka ada yg masuk ke golongan tsb, tp bukankah mereka sdh memiliki keyakinan masing"? bukankah yg mjd pilihan hdp mereka itu, ya mereka sendiri yg menentukan??
    mohon penjelasannya ����

    BalasHapus
  2. kk tlg kirimin sumber esay yang kk buat dong. trmksh

    BalasHapus